Social Icons

"Nyalakan lilin"
Jadilah bagian dari Solusi Bangsa

Kamis, 04 Juli 2013

Agama dan Tantangan Fides Quaerens Intellectum

oleh : Eko Priyono*
BEBERAPA waktu lalu, Propinsi Jawa Timur khususnya umat Islam di kabupaten Malang digemparkan oleh praktik shalat dwi bahasa. Munculnya pandangan dan praktik ritual keagamaan yang masih tergolong ekstrim itu, tak pelak mendapat sorotan tajam dari banyak kalangan, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kritikan pedas hingga label ajaran sesat, menyerang Yusman Roy selaku penggagas dan pemimpin ajaran itu.
            Menurutnya, selama ini umat Islam cenderung kurang dapat memahami dan menangkap pesan-pesan suci ajaran Islam, khususnya makna bacaan shalat, mengingat tidak semua umat Islam menguasai bahasa Arab. Dalam hal ini, ia kemudian berinisiatif melaksanakan serta mengajarkan shalat dwi bahasa, Arab dan Indonesia sekaligus. Lebih dari itu, ia memandang umat Islam hanya menganggap shalat sebagai ritual-transedental yang berfungsi sebagai simbol ibadah tanpa dapat mengetahui maksud dan substansinya.
            Pemikiran Yusman Roy saat ini tergolong sangat baru dan ganjil. Tetapi jika ditelusuri lebih jauh, Dalam khazanah pemikiran Islam akan ditemui hal serupa yang saat ini diakui kebenarannya. Upaya Yusman tidak lebih sebuah cara rasionalisasi mekanisme beribadah, tujuan serta maksudnya, dengan melihat realitas umat islam saat ini yang dianggap memposisikan ritual keagamaan sebagai simbol.
            Upaya rasionalisasi ini, dapat dikatakan mirip atau bahkan sama dengan apa yang diistilahkan oleh St. Anselmus sebagai Fides Quaerens Intellectum, yaitu rasionalisasi iman. Isu ini merupakan bagian dari pertemuan agama dan filsafat pada abad pertengahan sebagai usaha pencarian otentisitas Islam di tengah arus pemikiran dunia saat itu, khususnya filsafat Yunani. Dan saat ini, rasionalisasi itu tengah berkembang dalam pergumulan pencarian otentisitas Islam ditengah filsafat modern, khususnya pemikiran yang biasa disebut dengan liberalisme.

            Dalam Islam, usaha mencari fides quaerens intellectum ini dimulai oleh para teolog Muslim rasional dari aliran Mu`tazilah. Mereka mempertanyakan kemampuan akal dalam mengetahui eksistensi Tuhan, serta dijadikan alat untuk membedakan antara baik dan buruk. Nomenklatur ini menganggap akal dapat mengetahui hal tersebut. Maka bagi Mu`tazilah, iman-misalnya menyangkut masalah ketuhanan dan kehidupan bermoral, memang bukan sesuatu yang dogmatis, tetapi hal yang bisa mendapatkan penjelasan rasionalitas.
            Selain itu, seorang filsuf ternama, Al-Kindi juga menempatkan rasio pada posisi yang signifikan. Kindi menegaskan bahwa akal dan wahyu sebenarnya saling mendukung, dan saling membutuhkan satu sama lain. Usaha fides quaerens intellectum ini makin kentara pada diri Al-Farabi, filsuf besar yang dijuluki “Guru Kedua". Al-Farabi mempunyai prinsip bahwa kebenaran itu “satu”, tetapi diekspresikan dengan cara yang berbeda-beda. Ia juga berusaha menjelaskan kedudukan akal di hadapan wahyu, dengan memberikan penjelasan rasional atas masalah iman seperti kenabian, mu`jizat, dan doktrin-doktrin keagamaan utama yang ada dalam kitab suci.
            Sementara itu, geliat pemikiran Islam kontemporer tengah berkembang ke arah positif, dimana banyak kalangan intelektual muslim, agamawan dan cendekia melakukan persepsi kritis dalam membaca realitas keberagamaan yang ada saat ini. Perseteruan antara golongan fundamentalis dan modernis semakin meramaikan bursa agama yang kini menjadi trend center, khususnya ketika berhadapan dengan realitas modern.
            Melihat perkembangan pemikiran khususnya dalam bidang agama yang begitu pesat dengan perbedaan yang tidak terelakkan, toleransi dan sikap saling menghargai adalah kunci utama menghindari justifikasi oposisi binner (benar dan salah, Islam dan kafir), sembari mencari nilai-nilai otentisitas agama. Karena bukan suatu hal yang fenomenal ketika masing-masing kalangan, menguatkan dan membenarkan pendapatnya dengan dalih berdasarkan nilai-nilai genuine agama.
            Tulisan ini tidak bermaksud memberikan penilaian apakah shalat berbahasa Indonesia termasuk dibenarkan agama atau tidak. Tetapi fenomena tersebut setidaknya membuka wawasan kita, bahwa saat ini disadari atau tidak, umat Islam tengah terjebak pada simbol-simbol ritual, baik berupa ritual praktis maupun ritual grafis.
            Perlu diketahui, praktik ibadah yang dianggap sesat itu berangkat dari sebuah keprihatinan yang mendalam. Lantas, apakah larangan dari institusi keagamaan seperti MUI dan sorotan pedas lainnya mampu mengobati kegelisahan itu? Saat ini yang kita butuhkan adalah mencari jalan keluar dari krisis keagamaan tanpa menunjuk mana yang benar dan mana yang salah.
            Kita sadari bersama, krisis moral yang ada saat ini, salah satunya disebabkan minimnya pemahaman terhadap teks-teks suci agama yang membawa misi pembebasan. Pembelajaran terhadap pemahaman agama secara komprehensif dan integral masih terasa sangat kurang. Sekalipun di sana sini banyak juru dakwah yang selalu memberikan pemahaman agama.
            Sehingga tidak aneh, jika bangsa yang terkenal religius dengan keberadaan umat beragama yang begitu dominan, justru menjadi tempat terjadinya ketimpangan dan ketidakadilan. Ini merupakan fenomena yang sangat kontradiktif. Mungkin apa yang dikatakan Syafi'i Maarif tentang perbedaan kata dan laku menjadi benar adanya. Dan sebagai bentuk aktualisasi Fides Quaerens Intellectum, Yusman Roy meresponnya dengan melaksanakan shalat berbahasa Indonesia.

*Aktivis IMM Jatim

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Jejak dengan memberikan komentar Pada Artikel ini. Siapapun bisa menuliskan Komentar (tanpa harus punya akun google). pilih "select profil" Name/URL dan isi nama beserta link FB/Twitter/Blog Anda.

Fastabiqul Khoirot.