Tidak semua hal memiliki sifat abadi. Seperti halnya Dakwah. Ia, butuh Realisasi yang lebih menyentuh dan kontekstual. Jika toh, Dakwah masih dimaknai secara terminologi yang berarti memanggil, mengajak, menyeru. Ketiganya, tidak hanya dimiliki oleh para pemuka Agama, namun dalam kondisi yang lebih riil. Justru, konsep yang lebih relevan dan mengikat itu malah dimiliki oleh kaum-kaum yang dalam bahasa kita sebagai ‘pendosa’.
Kita
lihat, dahulu para Dai, menyampaikan ajaran Tuhan dengan bahasa verbal.
Keluar masuk masjid, pengajian-pengajian, hingga hajatan-hajatan untuk
memanggil, mengajak, dan menyeru Manusia agar lebih dekat dengan Tuhan.
Sekilas, cara itu memang relevan dan efektif. Minimal, untuk jamannya.
Jaman ketika manusia masih tenggelam dalam selimut ‘kabut’ yang
menyebabkan segalanya terbatas.
Berjalannya
waktu, seiring sudah mulai usangnya kursi kayu dan peradaban terdahulu.
‘perang’ dakwah itu semakin kentara. Mulanya, tentang cara Wali
(penyebar agama Islam di jawa) yang merasa jika verbalisme Dakwah
(dakwah dari mimbar ke mimbar) sudah mulai menemukan ancaman karena
arogansi tradisi, budaya dan sistem kemasyarakatan mengakar kuat.
Mereka, menyusun strategi Dakwah yang bersifat infiltratif.
Mengalkulturasikan dua hal yang kemudian menjelma menjadi sesuatu yang
benar-benar baru. Ini cerdas, karena kemampuan membaca kondisi itulah,
Islam telah menjadi penyusup, pemanggil, pengajak, dan penyeru yang
sukses. Paling tidak hingga saat ini, suara adzan masih menggema di
seantero negeri.
Namun,
realita itu kini bukan lagi masalah trasedensi dan keyakinan. Namun
lebih pada roh dan karakter Islam yang sudah mulai terancam oleh
kekuatan dakwah-dakwah lain yang lebih segar, kontekstual dan menyentuh.
Sistem dakwah yang mungkin tidak pernah difikirkan oleh siapapun,
kecuali yang benar-benar mampu membaca kondisi.
Sistem
dakwah kini, tidak lagi dengan bahasa verbal dan terpusat pada
tempat-tempat seperti Masjid ataupun majelis pengajian. Dakwah kini,
telah menjadi pemandangan di setiap sudut kehidupan. Dan cara itu sangat
efektif untuk mengajak bahkan menggerakkan seseorang bahkan yang telah
terkena dampak dari dakwah itu, merasa dirinya baik-baik saja. Sebuat
saja, sinetron-sinetron di tv, iklan-iklan, lagu-lagu, poster-poster di
jalanan. Itulah konsep dakwah baru yang ironisnya dikuasai oleh mereka
yang umumnya sangat bertentangan dengan kita.
Siapa
kira kini, kita bisa melihat pemandangan yang sangat fulgar. Para
remaja muslim, dengan santai dan bangga mengenakan pakaian setengah
jadi, berduaan di sudut-sudut taman, merasa hirau ketika adzan di masjid
bergema, miras, narkoba, terperdaya trend-trend dan lain sebagainya.
Mereka, secara sadar atau tidak telah terperdaya oleh dakwah-dakwah
kontemporer yang sangat kuat mengakar. Bahkan bukan lagi titik dasar
yang tersentuh, hingga titik tak sadar. Pemasungan otak bawah sadar
dengan visualisasi dan mantra-mantra sakti.
Sayang,
Dakwah itu belum kemudian disadari betul oleh sebagian besar
ulama-ulama kita. Banyak yang terpesona oleh aksi panggung boy band
ataupun girl band. Dan dengan sukarela mereka mengikuti gaya dan
perilaku idola mereka. Tapi, disebagian masjid dan tempat-tempat
berkhotbah, banyak yang terlelap, kalaupun ada yang menyimak itu tidak
bertahan lama. Ibarat perang, dakwah kita –para ulama—telah kalah telak
dibandingkan dakwah-dakwah para ‘pendosa’. Indikasinya, seperti contoh
diatas.
Dengan
berbekal kepopuleran, kata ‘sesuatu’ saja bisa menjadi perbincangan
dimana-mana. Padahal kata-kata itu hanya keluar sesekali melalui lagu
ataupun kata-kata sang artis. Sementara kalimat dzikir ataupun shalawat
yang sekian lama di ualang-ulang, tidak pernah sebegitu popular bahkan
tidak banyak yang memperbincangkannya. Sekali lagi, dakwah kita telah
kalah sangat telak.
Ceramah
dari mimbar ke mimbar mungkin tidak patut jika disebut usang. Tapi,
dalam bahasa realita cara itu memang sudah tidak lagi mampu memberikan
perlawanan berarti terhadap dakwah-dakwah iklan, sinetron, lagu-lagu,
poster-poster dan lain sebagainya. Lalu, kenapa tidak kita coba
merumuskan cara itu? Berdakwah tidak hanya secara verbal. Perlu adanya
infiltrasi terhadap iklan-iklan, sinetron, lagu-lagu dan lain sebagainya
itu. Agar, tidak dinilai Usang. Karena kontekstualisasi Dakwah itu
penting, untuk bisa merasuk dan menyeru bahkan mengajak pada jalan yang
benar-benar kita inginkan. Wallohu’alam
Ahmad Fahrizal Aziz
Malang, 10 maret 2012
0 komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Jejak dengan memberikan komentar Pada Artikel ini. Siapapun bisa menuliskan Komentar (tanpa harus punya akun google). pilih "select profil" Name/URL dan isi nama beserta link FB/Twitter/Blog Anda.
Fastabiqul Khoirot.