Social Icons

"Nyalakan lilin"
Jadilah bagian dari Solusi Bangsa

Jumat, 23 November 2012

Usang


Tidak semua hal memiliki sifat abadi. Seperti halnya Dakwah. Ia, butuh Realisasi yang lebih menyentuh dan kontekstual. Jika toh, Dakwah masih dimaknai secara terminologi yang berarti memanggil, mengajak, menyeru. Ketiganya, tidak hanya dimiliki oleh para pemuka Agama, namun dalam kondisi yang lebih riil. Justru, konsep yang lebih relevan dan mengikat itu malah dimiliki oleh kaum-kaum yang dalam bahasa kita sebagai ‘pendosa’.


Kita lihat, dahulu para Dai, menyampaikan ajaran Tuhan dengan bahasa verbal. Keluar masuk masjid, pengajian-pengajian, hingga hajatan-hajatan untuk memanggil, mengajak, dan menyeru Manusia agar lebih dekat dengan Tuhan. Sekilas, cara itu memang relevan dan efektif. Minimal, untuk jamannya. Jaman ketika manusia masih tenggelam dalam selimut ‘kabut’ yang menyebabkan segalanya terbatas.

Berjalannya waktu, seiring sudah mulai usangnya kursi kayu dan peradaban terdahulu. ‘perang’ dakwah itu semakin kentara. Mulanya, tentang cara Wali (penyebar agama Islam di jawa) yang merasa jika verbalisme Dakwah (dakwah dari mimbar ke mimbar) sudah mulai menemukan ancaman karena arogansi tradisi, budaya dan sistem kemasyarakatan mengakar kuat. Mereka, menyusun strategi Dakwah yang bersifat infiltratif. Mengalkulturasikan dua hal yang kemudian menjelma menjadi sesuatu yang benar-benar baru. Ini cerdas, karena kemampuan membaca kondisi itulah, Islam telah menjadi penyusup, pemanggil, pengajak, dan penyeru yang sukses. Paling tidak hingga saat ini, suara adzan masih menggema di seantero negeri.

Namun, realita itu kini bukan lagi masalah trasedensi dan keyakinan. Namun lebih pada roh dan karakter Islam yang sudah mulai terancam oleh kekuatan dakwah-dakwah lain yang lebih segar, kontekstual dan menyentuh. Sistem dakwah yang mungkin tidak pernah difikirkan oleh siapapun, kecuali yang benar-benar mampu membaca kondisi.

Sistem dakwah kini, tidak lagi dengan bahasa verbal dan terpusat pada tempat-tempat seperti Masjid ataupun majelis pengajian. Dakwah kini, telah menjadi pemandangan di setiap sudut kehidupan. Dan cara itu sangat efektif untuk mengajak bahkan menggerakkan seseorang bahkan yang telah terkena dampak dari dakwah itu, merasa dirinya baik-baik saja. Sebuat saja, sinetron-sinetron di tv, iklan-iklan, lagu-lagu, poster-poster di jalanan. Itulah konsep dakwah baru yang ironisnya dikuasai oleh mereka yang umumnya sangat bertentangan dengan kita.

Siapa kira kini, kita bisa melihat pemandangan yang sangat fulgar. Para remaja muslim, dengan santai dan bangga mengenakan pakaian setengah jadi, berduaan di sudut-sudut taman, merasa hirau ketika adzan di masjid bergema, miras, narkoba, terperdaya trend-trend dan lain sebagainya. Mereka, secara sadar atau tidak telah terperdaya oleh dakwah-dakwah kontemporer yang sangat kuat mengakar. Bahkan bukan lagi titik dasar yang tersentuh, hingga titik tak sadar. Pemasungan otak bawah sadar dengan visualisasi dan mantra-mantra sakti.

Sayang, Dakwah itu belum kemudian disadari betul oleh sebagian besar ulama-ulama kita. Banyak yang terpesona oleh aksi panggung boy band ataupun girl band. Dan dengan sukarela mereka mengikuti gaya dan perilaku idola mereka. Tapi, disebagian masjid dan tempat-tempat berkhotbah, banyak yang terlelap, kalaupun ada yang menyimak itu tidak bertahan lama. Ibarat perang, dakwah kita –para ulama—telah kalah telak dibandingkan dakwah-dakwah para ‘pendosa’. Indikasinya, seperti contoh diatas.

Dengan berbekal kepopuleran, kata ‘sesuatu’ saja bisa menjadi perbincangan dimana-mana. Padahal kata-kata itu hanya keluar sesekali melalui lagu ataupun kata-kata sang artis. Sementara kalimat dzikir ataupun shalawat yang sekian lama di ualang-ulang, tidak pernah sebegitu popular bahkan tidak banyak yang memperbincangkannya. Sekali lagi, dakwah kita telah kalah sangat telak.

Ceramah dari mimbar ke mimbar mungkin tidak patut jika disebut usang. Tapi, dalam bahasa realita cara itu memang sudah tidak lagi mampu memberikan perlawanan berarti terhadap dakwah-dakwah iklan, sinetron, lagu-lagu, poster-poster dan lain sebagainya. Lalu, kenapa tidak kita coba merumuskan cara itu? Berdakwah tidak hanya secara verbal. Perlu adanya infiltrasi terhadap iklan-iklan, sinetron, lagu-lagu dan lain sebagainya itu. Agar, tidak dinilai Usang. Karena kontekstualisasi Dakwah itu penting, untuk bisa merasuk dan menyeru bahkan mengajak pada jalan yang benar-benar kita inginkan. Wallohu’alam


Ahmad Fahrizal Aziz
Malang, 10 maret 2012

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Jejak dengan memberikan komentar Pada Artikel ini. Siapapun bisa menuliskan Komentar (tanpa harus punya akun google). pilih "select profil" Name/URL dan isi nama beserta link FB/Twitter/Blog Anda.

Fastabiqul Khoirot.