(Urgensi
Membumikan Kata Akademisi Islam)
Radius
Setiyawan
Kabid
Keilmuan DPD IMM Jawa Timur
Tulisan
ini menanyakan pentingnya kenapa kelahiran IMM berusaha untuk
membentuk Akademisi Islam, meskipun tidak berusaha mengurai akar
genologisnya kenapa kata akademisi muncul, akan tetapi tulisan ini
akan berusaha melakukan komparatif akan istilah-istilah lain yang
mungkin secara nilai ada kesamaan akan tetapi lahir di dimensi
sejarah yang berbeda. IMM dalam kelahiran tentunya mempunyai dimensi
sejarah sendiri. Seperti: dalam buku Sejarah
Yang Dipersoalkan
karya Farid Fathoni, IMM banyak mengalami persoalan krusial baik dari
kelahirannya yang dianggap tidak perlu maupun eksistensinya yang
berusaha dihilangkan yang tertunya itu sudah seharusnya mampu kita
gali dan dari situ akan ada rumusan historis yang mampu kita
kontektualisasikan ke dimensi kekinian. Gambaran komparatis yang akan
digambarkan bukan bermaksud menjauhkan istilah akademisi dengan
nilai-nilai pada term-term yang ada (intelektual, cendekiawan dan
yang lainnya) akan tetapi kata “bukan”
yang ada merupakan penekanan bahwa IMM dengan akademisi Islamnya
punya sejarah sendiri yang sudah barang tentu wajib kita sebagai
kader harus menciptakan formulasi dan rumusan untuk membumikannya di
tengah term-term yang ada dan itu harus berbasis fakta sejarah kita
bukan sejarah orang lain.
Akademisi
bukan Intelektual
Istilah
intelektual yang sering kali melekat dan melebeli kita sebenarnya
jika kita menelisik kebelakang maka ada dimensi sejarah dimana
istilah ini di gunakan. Pada 1896 Alfred Dreyfus, seorang kapten
Yahudi dalam dinas ketentaraan Prancis di tuduh melakukan spionase
dan dicopot pangkatnya oleh sebuah pengadilan militer dan dihukum
penjara seumur hidup. Sebagai protes atas kesewenang-wenagan
keputusan pengadilan itu, Emile Zola, seorang novelis populer
terkenal, menerbitkan sebuah surat terbuka dihalaman muka sebuah
koran kecil yang terbit di Paris, yang menuduh para anggota dinas
ketentaraan Prancis telah merekayasa bukti, memanipulasi dan dan
menutup-nutupi fakta-fakta kasus tersebut. Surat ini yang kemudian
dikenal sebagai ‘manifeste des Intellectuels’ (manifesto para
inteletual) menyebabkan perpecahan di kalangan pengarang perancis
menjadi 2 kubu : kubu Dreyfusard (yang membela Dreyfus) dan kubu
anti-Dreyfusard. Dari polarisasi ini,akhirnya muncul istilah
intelektual yang awal kemunculannya merupakan cemooan yang
berkonotasi negatif. Buat kubu anti-Dreyfusand, yang berbicara dari
sudut pandang pendukung institusi-institusi negara, istilah
“intelektual” dipakai untuk menunjuk para penulis dan selebritis
yang berorientasi-pasar yang memiliki keterkaitan dengan kubu
Dreyfusar. Namun, efek dari pelabelan ini malah semakin memperteguh
kubu Dreyfusard, dan malah memberikan sebuah nama dan identitas baru.
Sejak saat itu kata “intelektual” bukan hanya menjadi sebuah
istilah yang populer, melainkan juga menjadi sebuah model bagi bentuk
baru keterlibatan dalam kehidupan publik dan juga bagi peran baru
untuk dimainkan (Eyermen dalam Latif, 2005: 20-21).
Dengan
demikian istilah intekletual mempunyai dimensi sejarah yang sudah
jelas dalam kontek diatas menunjuk pada komunitas dengan visi dan
proklamir tersendiri. Dalam perkembangannya definisi intelektual
menjadi sangat beragam dimana istilah itupun lahir dengan sejarahnya
sendiri. Dalam pendapat Eyermen dalam Latif (2005:21), beragam
definisi tersebut bisa dikelompokkan menjadi 2 kategori. Yang
pertama, definisi yang mengintepretasikan intelektual dalam kerangka
karekteristik-karakteristik personal, seperti “seorang menjadikan
berpikir sebagai kerja sekaligus bermain” (Lasch, 1965) atau mereka
yang tak pernah puas dengan hal-hal sebagaimana adanya”. Yang
kedua, definisi yang mengaitkan istilah tersebut dengan struktur
maupun fungsi sosial tertentu. Definisi tersebut diajukan seperti
oleh Seymour Martin Lipset yang mendifinisikan intelektual adalah
orang yang mennciptakan, menyebarluaskan dan yang menjalankan
kebudayaan.
Beragam
varian kategorisasi merupakan yang lazim terjadi yang kesemuanya
jelas-jelas mempunyai fungsi sosial yang saya kira itu senada dengan
istilah Akademisi, Cendikiawan, Negarawan dan lain sebagainya. Dalam
perkembangnya istilah intelektual pun mengalami tambahan-tambahan
yang itu berangkat dari asumsi-asumsi dasar tokoh yang menggagas.
Akademisi
bukan Intelektul Organik ala Gramci.
Gramsci
adalah salah satu exponen Marxis yang sangat berpengaruh, bagi
Gramsci, akan terasa problematik jika mengidentifikasi para
intelektual sebagai seorang yang mempunyai kualitas – kualitas
khusus yang dianggap bersifat bawaan (innate).
Dalam
pandangannya, setiap orang “menjalankan beberapa bentuk aktivitas
intelektual”, “tetapi tidak semua orang dalam masyarakat
menjalankan fungsi sebagai intelektual” (Gramsci, 1971 : 8 - 9).
Oleh karena itu, faktor penentu apakah seseorang itu bisa
dikategorisasikan sebagai seorang intelektual ataukah seorang pekerja
manual terletak pada “fungsi sosial” –nya. Berbeda dengan
pandangan liberal yang melihat intelektual sebagai sesuatu yang
berada “di atas” atau “ di luar” masyarakat, Gramsci memahami
para intelektual sebuah bagian integral dari materialitas yang
konkret dari proses-proses yang membentuk masyarakat. Atas dasar
fungsi sosial dan afinitas sosialnya, Gramcsi membedakan dua
kategori intelektual: yaitu, intelektual “tradisional” dan
intelektual “organik”. Dalam kategory intelektual “tradisional”,
Gramcsi memasukkan bukan hanya para filosof, sastrawan, ilmuwan, dan
para akademisi yang lain, melainkan juga para pengacara, dokter,
guru, pendeta, dan para pemimpin militer (Gramcsi, 1971:7,9). Menurut
penilaianya, para intelektual tradisional secara niscaya akan
bertindak sebagai antek dari kelompok penguasa. Bahkan, saat mereka
bersikap kritis terhadap status
quo pun,
mereka pada dasarnya tetap membiarkan sistem nilai yang dominan
menentukan kerangka perdebatan mereka (Gramcsi, 1971:7-8,12).
Sementara para “intelektual organik” menurutnya menunjuk kepada
para intelektual yang berfungsi sebagai perumus dan artikulator dari
ideologi – ideologi dan kepentingan kelas, terutama dikaitkan
dengan ideologi-ideologi dan kepentingan kelas yang sedang tumbuh
(kelas buruh). Dia beragumen bahwa semua kelompok sosial yang
memainkan peran ekonomi yang signifikan secara historis menciptakan
intelektual-intelektualnya sendiri untuk menjustifikasi peran
tersebut: “setiap kelompok sosial terlahir dalam medan fungsinya
yang pokok, dan bersamaan dengan itu, secara organis melahirkan satu
atau lebih strata kaum intelektualnya sendiri yang akan menciptakan
homogenitas dan kesadaran akan fungsi dalam diri kelompok sosial
tersebut, bukan hanya di medan ekonomi, melainkan juga di medan
sosial dan politik” (Gramcsi, 1971:5).
Dalam
hal yang senada sebutan bagi intelektual tradisional dalam kontek
diskursus di Indonesia adalah sama dengan Intelektual tukang dan
intelektual menara gading yang secara aplikasinya lepas dari
keberpihakan atas realitas.
Akademisi
bukan Intelektual Profetik
Belum
lama istilah intelektual profetik menjadi pembicaraan, melalui buku
Muhammad Halim Sani dengan judul Manifesto Intelektual Profetik,
penulis berusaha mengurai dan mengaitkan antara nilai-nilai
perjuangan Ikatan dengan Etika profetik yang menurut penulis keduanya
mempunyai keterkaitan dan ada ajakan untuk membumikan kerangka itu
dalam ikatan. Harus diakui kata Intelektual profetik lahir tidak
lepas dari etika profetiknya Kuntowijoyo. Sebagaimana Sani (2010:49)
diterangkan bahwa proses tranformasi sosial yang dilakukan dalam
nilai-nilai dasar ikatan sesuai dengan tiga pilar dalam etika
profetik yaitu : Humanisasi, liberasi dan trasendensi.
Buku
Manifesto Intelektual Profetik perlu di apresiasi setinggi-tingginya
karena buku ini terbit ditengah lemahnya budaya literacy di
kader-kader IMM. Buku ini membawa angin segar akan peting melihat
ikatan kita secara progresif, melihat ikatan bukan barang mati yang
tidak perlu dikayakan dalam tafsir dan diintepretasikan dalam kontek
kekinian. Dalam hal yang lain harus diakui dalam buku ini tidak
dikaitkan secara historis antara kelahiran term intelektual profetik
dengan kelahiran Ikatan kita. Buku ini tidak mengulas bagaimana ada
korelasi antar keduanya seperti : sentuhan founding
father
terhadap gagasan itu, bagaimana term akademisi Islam dalam
kelahirannya secara diskripsi tidak lepas dari gagasan etika
profetik. Ada kesimpulan yang terlalu dini ketika mengatakan bahwa
gerakan kita berpola intelektual profetik yang jelas-jelas dalam
faktanya dalam buku itu sangat minim membahas akar genologi kelahiran
kata Akademisi Islam yang dikontekkan dengan etika profetik. Tidak
bermaksud mereduksi kesamaan nilai akan keduanya akan tetapi
memunculkan kata Intelektual Profetik dalam posisi domino secara
otomatis akan mereduksi eksistensi kata akademisi Islam yang
jelas-jelas itu menjadi tujuan Ikatan.
Akademisi
bukan Rausan Fikr ala Ali Syariati
Dalam
pengantar terjemahan karya Ali Syari’ati, Ideologi
Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam (1994)—menjelaskan
bahwa Raushan
Fikr dalam
bahasa Persia berarti “pemikir yang tercerahkan.” Dalam
terjemahan Inggris terkadang disebut Intelectual
atau
free
thinkers.
Raushan
Fikr
berbeda dengan ilmuwan. Seorang ilmuwan menemukan kenyataan, seorang
Raushan
Fikr
menemukan kebenaran; ilmuwan hanya menampilkan fakta sebagaiman
adanya, Raushan
Fikr
memberikan penilaian seharusnya; ilmuwan berbicara dengan bahasa
universal, Raushan
Fikr
seperti para Nabi—berbicara dengan bahasa kaumnya; ilmuwan bersikap
netral dalam menjalankan pekerjaannya, Raushan
Fikr
harus melibatkan diri pada ideologi.
Raushan Fikr
adalah
model manusia yang diidealkan oleh Ali Syari'ati untuk memimpin
masyarakat menuju revolusi Iran. Raushan
Fikr
adalah pemikir tercerahkan yang mengikuti ideologi yang dipilihnya
secara sadar. Ideologi akan membimbingnya kepada pewujudan tujuan
ideologi tersebut, ia akan memimpin gerakan progresif dalam sejarah
dan menyadarkan umat terhadap kenyataan kehidupan. Ia akan
memprakarsai gerakan revolusioner untuk merombak stagnasi. Dalam
salah satu karyanya, Tugas
Cendekiawan Muslim (2001),
Syari’ati menjelaskan secara detail tanggung jawab orang-orang yang
tercerahkan, yakni: menentukan sebab-sebab yang sesungguhnya dari
keterbelakangan masyarakatnya dan menemukan penyebab sebenarnya dari
kemandekan dan kebobrokan rakyat dalam lingkungannya. (ia juga) harus
mendidik masyarakatnya yang bodoh dan masih tertidur, mengenai
alasan-alasan dasar bagi nasib sosio-historis yang tragis. Lalu,
dengan berpijak pada sumber-sumber, tanggung jawab,
kebutuhan-kebutuhan dan penderitaan masyarakatnya, ia dituntut
menentukan pemecahan-pemecahan rasional yang memungkinkan pemanfaatan
yang tepat atas sumber-sumber daya terpendam di dalam masyarakatnya,
dan mendiagnosis yang tepat pula atas penderitaan masyarakatnya.
Orang yang tercerahkan akan berusaha untuk menemukan hubungan sebab
akibat sesungguhnya antara kesengsaraan, penyakit sosial, dan
kelainan-kelainan serta berbagai faktor internal dan eksternal.
Akhirnya, orang yang tercerahkan harus mengalihkan pemahaman di luar
kelompok teman-temannya yang terbatas ini kepada masyarakat secara
keseluruhan.” Raushan
Fikr
merupakan kunci bagi perubahan, oleh karenanya sulit diharapkan
terciptanya perubahan tanpa peranan mereka. Merekalah pembangun
jalinan yang meninggalkan isolasi menara gading dan turun dalam
masyarakat.
Mereka adalah
katalis yang meradikalisasi massa yang tidur panjang menuju gerakan
melawan penindas. Hanya ketika dikatalisasi oleh Raushan
Fikr
masyarakat dapat mencapai lompatan kreatif yang besar menuju
peradaban baru. Ada faktor kelahiran yang sama antara Rausan Fikr
dengan intelektual organik ala Gramsci, dimana keduanya sama-sama
mendambakan akan munculnya sosok yang mampu mencairkan keadaan
ditengah hegemoni rezim (rezim kapitalis dan rezim pemerintahan).
Penutup
Dari
berbagai macam varian intelektual yang lahir di dimensi sejarah yang
relatif berbeda tentunya kita IMM mempunyai sejarah sendiri yang dari
sejarah mampu menghasilakan nilai-nilai dasar perjuangan kita. Apa
yang saya sampaikan dalam tulisan ini sebenaranya sederhana, hanya
ingin mengajak akan pentingnya mengurai akar genologis akan makna
Akademisi
Islam.
Sudah saatnya akademisi Islam yang ada dalam tujuan di teks AD/ART
kita di tafsirkan dengan mengahdirkan fakta-fakta di dimensi
historis. Sudah saatnya membuat kerangka kekinian di tengah banyaknya
referensi yang ada akan konsep akan aktor pergerakan dengan tetap
menjadikan kata akademisi Islam sebagai faktor domino. Sedikit
tulisan semoga dapat mengantar kita akan pentinya kembali membuka dan
mencari puing-puing sejarah Ikatan kita yang menurut saya itu penting
digunakan untuk dasar dan pondasi esensial sehingga tafsir yang
dimunculkan tetap terkoridor dalam apa yang diyakini sebagai
kebenaran dalam ikatan kita. Akhir kata tidak, katakan tidak pada
perubahan kata akademisi Islam dalam muktamar kita. Keinginan untuk
merubah itu bisa jadi disebabkan oleh minimnya pengetauhan kita akan
sejarah ikatan sehingga mengganggap kelahiran kata akademisi tidak
mempunyai dimensi sejarah yang sudah seharusnya kita menjadikan itu
essensial
yang tak lekang oleh waktu melalui tafsir dan inteprestasi yang terus
menerus sehingga ketika ketika kata akademis islam mengalami peyorasi
(penyempitan) makna dalam kontek KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
maka itu tidak berlaku dalam kontek akademisi yang menjadi tujuan
kita.
Daftar
Bacaan
Abdul
Halim Sani, Manifesto Gerakan Intelektual Profetik, 2011, Yogjakarta;
Samudra Biru
Ali
Syari’ati, Ideologi
Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam (1994)
Farid
Fathoni, Sejarah yang di Persoalkan, 1990: PT Bina Ilmu
Listiyono
Dkk, Epistemologi Kiri, 2007: Ar-Ruzz Media Group
Yudi
Latif, Intelegensi Muslim dan Kuasa: Genologi Intelegensi Muslim
Indonesia,2005: Mizan Media Utama
0 komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Jejak dengan memberikan komentar Pada Artikel ini. Siapapun bisa menuliskan Komentar (tanpa harus punya akun google). pilih "select profil" Name/URL dan isi nama beserta link FB/Twitter/Blog Anda.
Fastabiqul Khoirot.